Pages

Selasa, 29 Oktober 2013

Dalam Dekapan Ukhuwah

Ada banyak hal yang tak pernah kita minta
Tapi Allah tiada alpa menyediakannya untuk kita
Seperti nafas sejuk, air segar, hangat mentari,
Dan kicau burung yang mendamai hati
Jika demikian, atas do’a-do’a yang kita panjatkan
Bersiaplah untuk diijabah lebuh dari apa yang kita mohonkan


Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.

“Di mana keadilan Allah?”, ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan padaNya. Kujauhi segala laranganNya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikuti jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali.”

Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.

“Padahal”, lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman lain yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnyasegalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Allah?”

Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana iblis telah terlena! Jangan heran kalau do’amu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”
Saya bisa mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.

Tapi saya sadar. Ini ujian dalam dekapan ukhuwah. Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.

Maka saya katakan kepadanya, “Pernahkah engkau didatangi pengamen?”
“Maksudmu?”
“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”
“Iya, pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.

“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang, dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera ku beri uang ,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”

“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi, apa yang kau lakukan?”

“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Saya tertawa.

Dia tertawa.

“Kau mengerti kan?” tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambaNya.jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa, dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan kepada malaikat : ‘Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya!’

“Tapi,” saya menlanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya : ‘Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdo’a, terus menghiba. Aku menyukai do’a-do’anya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yanng dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku men cintaiNya.’

“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“Hm... pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”

Dan dia tersenyum. Alhamdulillaah.

************

Kita tak pernah tahu apa yang terjadi esok. Kita terhijab dalam kegelapan. Kita tertabir dari suatu keadaan yang kita sebut masa depan. Dalam kepekatan itu, kita hanya bisa mengira-ngira. Kita menduga-duga. Kita berprasangka. Bisa baik, bisa buruk. Bisa positif, bisa negatif. Bisa optimis, bisa pesimis. Itu semua pilihan. Tetapi ketika harus menyusuri langkah-langkah dalam dekapan ukhuwah, sepertinya kita harus memilih untuk berbaik sangka.

Sepanjang kehidupan yang kita lalui selama ini, sebenarnya kita telah menjadi saksi dahsyatnya kekuatan berbaik sangka. Kita tak mungkin mampu untuk duduk atau berdiri hari ini, andai telah kita yakini bahwa sedetik lagi kematian menghampiri. Kita tak mungkin mampu berbaring, sebab seperti tertulis dalam data, empat perlima kematian terjadi di atas ranjang. Kita tak mungkin berani bersantap, sebab aneka kuman dan virus yang jutaan kemungkinan ada dalam sesuap nasi dan sekerat brokoli. Kita pasti mencoba untuk menahan nafas, sebab udara di sekitar kita berpeluang memngandung selaksa unsur dan senyawa yang mematikan.

Tapi kita masih berprasangka baik.

Dengan prasangka baik itu kita merencanakan dengan penuh harap dan rindu, bahwa kelak di kehidupan selanjutnya Allah akan menempatkan kita di surga. Bahwa di ujung usia nanti, kita akan dijemput oleh kematian yanng paling indah. Bahwa dalam hari-hari yang akan datang, kita akan menjalani hidup yang makin bermakna, penuh cinta, dan penuh bahagia. Dengan prasangka baik kita bisa merenda mimpi, menggantungkan cita, dan menyusun rencana-rencana untuk masa depan.

Tapi kadang-kadang seperti kawan kita dalam cerita yang telah kita baca di atas, ketika terbentur terjalnya hidup, adakalanya kita disergap buruk sangka. Manusiawi. Namun tak boleh dibiarkan lama-lama. Dalam dekapan ukhuwah, baik sangka sepertinya adalah satu-satunya pilihan. Agar kita menyempurnakan akar pohon iman. Agar kita bisa menjuraikan buah yang manis, harum, dan lembut. Agar kita memiliki batu bata yang cukup, untuk mendirikan menara cahaya, kelak di surgaNya.

Dalam dekapan ukhuwah kita hayati firman dalam hadits Qudsi itu. “Sesungguhnya Aku,” kata Allah dalam ujaran Nabi yang diriwayatkan Ibnu Majah, “Ada di sisi prasangka hambaKu pada diriKu.”

“Aku bersamanya setiap kali dia mengingatKu. Jika dia mengingatKu di kala tiada kawan, maka Aku akan mengingatnya dalam kesendirianKu. Jika dia mengingatKu dalam suatu kumpulan, niscaya Aku sebut-sebut dia dalam suatu kaum yang lebih baik daripada jama’ahnya. Jika dia mendekat padaKu dalam jarak sejengkal, maka Aku mengakrabinya dengan beringsut sehasta. Jika dia mendekat padaKu dalam jarak satu hasta, Aku akan menyambutnya dengan bergeser satu depa. Apabila dia datang kepadaKu dengan berjalan, Aku akan datang padanya dengan berlari-lari kecil.”

Dalam dekapan ukhuwah, ada berjuta kebaikan mengiringi prasangka baik kita padaNya. Dia setia bersama kita dan melimpahkan kebaikan, karena kita mengingatNya juga dengan sangkaan kebaikan.


Dalam Dekapan Ukhuwah_Salim A.Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar